bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mati - "kesempatan kedua"

Langit malam tak berbintang. Tapi sama sekali tidak mengisahkan gulita. Lampu jalanan yang berwarna-warnai dengan berbagai bentuk ada di pinggir-pinggir jalan sebagai penghias kota malam. Lampu-lampu papan nama toko-toko, rumah makan, dan bar-bar kecil seperti bersaing mengajak pejalan kaki dan penikmat malam yang masih berlalu-lalang di trotoar untuk mampir dan menghamburkan uang. Sementara saya diam mengamati kota asing yang sudah hampir setahun saya pijak. Mendengar suara-suara deru kendaraan bermotor yang ramai tapi tidak macet seperti jam-jam sibuk biasanya. Mendengar musik keras yang diputar di beberapa toko.

Lama setelah menikmati itu semua, saya melihat saya sendiri. Celemek masih melekat di tubuh. Kaki beralaskan sandal rumah berbulu putih yang sudah kotor. Saya rasa rambut saya juga berantakan Karena tersadar beberapa rambut menutupi pandangan saat angin menerpa beberapa kali. Saya masih diam, tak sanggup menertawai diri. Masih dengan berdiri di atas jembatan penyebrangan, mata saya lurus ke depan.


Kemarin anak yang sudah saya kandung belum genap enam bulan mati di perut saya. Hari ini suami saya pergi dengan membawa semua uang dan pakaiannya. Bodoh sekali saya masih menyiapkan makan malam. Suami saya tak akan kembali.

Apa yang harus saya lakukan? Apa salah saya sehingga ditakdirkan memilih yang salah? Saya terbuang dari keluarga karena memilih menjadikannya suami saya.

Dikejauhan terlihat sebuah truk bergambar mini market terkenal melaju tengah mendekat. Tak lama kemudian saya menjatuhkan diri dari jembatang penyebrangan, menghantam aspal, terinjak ban depan truk, dan terseret-seret ban belakang truk entah sejauh apa. Truk tadi memang melaju kencang dan saya jatuh tiba-tiba, membuatnya tak sanggup mengerem secepat mungkin untuk menghindari saya. Sakit sekali tapi melegakan. Saya mati.

Suara musik terdengar, entah berasal dari toko yang mana. Lagu balada terdengar sangat menyayat hati, membuat saya menangis dan membuka mata. Saya mengusap air-air mata yang mengalir membasahi bantal.

Bantal? Saya segera mendudukkan diri di ranjang. Tadi saya benar-benar tidak bermimpi. Saya benar-benar mati. Sakit yang saya rasakan adalah nyata. Saya bangkit untuk keluar kamar. Di depan sofa lusuh itu tv menyala tengah menyiarkan video klip lagu balada yang tadi saya dengar. Di meja makan kecil dekat dapur yang super mungil terdapat seplastik besar bahan sayur yang tadi saya beli.

Seharusnya, setelah meletakkan bungkusan itu disana, saya melihat kertas kecil dari suami saya yang tertempel di pintu kamar. Berisi pesan untuk tidak mencarinya dan tidak juga mencari uang saya. Saya menoleh ke pintu kamar dan kertas itu masih menempel disana, belum terobek-robek di lantai.

Ada apa ini? Tuhan, saya ingin mati saja.

Lalu saya berteriak sambil memegang kepala karena tak ingin menjadi seperti ini. Apakah benar ada kesempatan kedua? Dan tuhan memberikannya kepada saya yang ingin mati kedua kalinya? Hah, saya hanya ingin mati.

Saya berjalan keluar apartemen kumuh yang sudah hampir setahun saya tinggali. Linglung dalam melangkah hingga akhirya sudah bergabung bersama orang-orang malam di trotoar.

Di bawah salah satu tiang lampu pinggir jalan, seorang bocah laki-laki tengah tersenyum pada saya. Ia memanggil-manggil saya dengan sebutan 'ibu'. Saya tersenyum bahagia mendengarnya. Apakah dia anak saya? Perlahan dan masih dengan rasa tak percaya saya menghampirinya. Belum sempat menyentuh wajahnya, ia hilang. Saya menangis seketika setelah sadar Tuhan sedang mempermainkan mata saya.

Lalu dikejauhan, seorang laki-laki dengan jaket hitam kesayangannya tengah menatap tajam ke arah saya. Ketika saya hendak mendekatinya, ia berbalik dan berjalan cepat dengan menarik koper besar. Itu suami saya. Saya memanggil namanya beberapa kali tapi ia pura-pura tak mendengar. Lalu hilang di belokan jalan.

Saya melihat sekitar. Orang-orang yang berpapasan tampak menatap saya dengan pandangan iba dan takut. Beberapa dari mereka mnyebut saya gila. Menyadari itu, saya tertawa sendiri. Akhirnya saya bisa menertawai diri.

Untuk orang-orang seperti saya, yang merasa hidup sangat menyakitkan, akan mati bunuh diri atau menjadi gila. Dan saya sekarang saya hidup kedua kalinya untuk menjadi gila.

"Hahahahahahaaaa...! Dasar orang gila!!" teriak saya.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)