bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

LOKER NOMOR 7 _ BAGIAN 6

cerita yang lalu ...

Libur sekolah, Raras mencari laki-laki yang disukai Laras. Dalam suratnya yang panjang, Laras menginginkan informasi tentang sosok yang bernama Karang di tahun 2010. Raras menemui Karang ke alamat rumah yang diberikan Laras dalam suratnya, namun ternyata rumah itu sudah tidak menjadi tempat tinggal Karang. Setelah mencari informasi lebih lanjut, Raras menemukan apartemen Karang. Namun sayang sekali, dalam pertemuan itu, Raras mengetahui kalau Karang sama sekali tidak mengingat Laras.

***
8 Januari 2004, Kamis
15:00

Laras berjalan menyusuri salah satu jalan kompleks yang menurutnya, tidak terlalu berbeda dengan foto yang pernah Raras kirim. Sambil mengamati nomor-nomor rumah yang tertera di tiap tembok pagar, Laras memikirkan akan Raras di tahun itu. Lama sekali Laras dan Raras tidak berhubungan. Sekarang Laras libur sekolah, mungkin saja Raras disana juga merindukan surat Laras seperti dirinya.



Laras berhenti di depan sebuah rumah bernomor 23. Rumah bercat biru muda dengan beberapa bagian tembok dilapisi batu-batu alam. Tanahnya lebih tinggi sekitar satu meter dari jalan kompleks di depannya. Pagar berukuran pendek mengelilingi halaman depan rumah dengan gerbang tinggi dan besar tertutup rapat. Dari jalan kompleks tempat ia berdiri, Laras bisa melihat sebuah pohon seri di halaman depan dan sebuah ayunan dari besi yang bangkunya saling berhadapan.

Dua anak muncul dari dalam rumah, sedang berebut sebuah boneka salju yang terbuat dari kain. Melihat boneka itu, Laras yakin ia tidak berada di depan rumah yang salah. Sepertinya sejak kecil Raras menyukai salju. Anak yang lebih kecil terlihat sedang berusaha mengambil boneka dari genggaman anak yang lebih besar.

“Kak Anggun, itu boneka Raras,” rengek anak yang lebih kecil sambil sesekali menyingkirkan ujung-ujung rambutnya yang panjang masuk ke dalam mulut.

“Mamaku yang beli boneka ini, jadi ini boneka aku,” jawab anak yang lebih besar. “Kamu anak sial, tahu? Anak yatim piatu,” kata anak itu kemudian sambil mendorong Raras dengan kasar hingga Raras terjatuh. Melihat itu, badan Laras tergerak hendak menolong Raras, tapi Laras mampu menahannya di detik berikutnya.

“Kakak,” rengek Raras kecil.

“Mau boneka ini? Naik di atas pohon itu, nanti aku akan lempar boneka dari bawah,” kata anak yang lebih besar mengajak negosiasi. Tak lama, Raras memanjat pohon seri yang agak tinggi itu dengan tertatih. Setelah mencapai puncak, anak yang lebih besar melempar boneka ke arah Raras. Dengan sengaja ia melempar ke arah yang lebih jauh dari Raras berada, sehingga Raras kesusahan untuk menggapainya dan membuat Raras terjatuh kemudian.

Laras berlari menaiki tanah yang tinggi itu untuk melihat Raras sekarang. Anak yang paling besar berhenti tertawa dan suasana menjadi sepi sekarang. Laras tidak bisa menaiki tanah itu, jadi ia berlari menuju pintu gerbang untuk melihat apa yang terjadi. Laras melihat Raras kecil terbaring di bawah pohon seri dan mengalir darah dari kepalanya, sementara anak yang lebih besar diam kaku sambil mengamati Raras kecil.

“Tolong! Ada orang dirumah? Raras jatuh! Tolong!” Teriak Laras kemudian sabil mendorong-dorong pintu gerbang yang tak mungkin terbuka. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua dan seorang perempuan agak lusuh keluar dari dalam rumah dan segera membawa Raras kecil masuk ke dalam mobil.

^^^
17:00
Laras merasakan lemas pada kakinya ketika berjalan menuju ruang dimana Raras tadi berada. Baru saja ia menjalani donor darah untuk membantu Raras kecil. Kebetulan sekali golongan darah Laras sama dengan Raras. Ketika hampir tiba, Laras melihat anak yang lebih besar dari Raras tadi berdiri di depan pintu ruang operasi.

“Anak nakal,” marah Laras setelah menghampiri anak yang sudah pasti adalah Kak Anggun kecil.

“Apa dia akan mati?” Tanya Kak Anggun kecil sambil menangis menunduk.

“Tidak akan mati,” jawab Laras.

“Aku menyesal,” kata Kak Anggun kecil kemudian.

^^^
18:10
Dengan terengah-engah Laras masuk ke dalam pameran kerajinan tangan dari berbagai negara, Handcraft EXPO 2004. Sebelum ke rumah Raras, Laras mampir ke lapangan baseball tempat dimana Karang sedang latihan disana. Setiap Selasa, Kamis dan Jumat Karang latihan baseball di lapangan ini. Laras memasukkan satu tiket pameran ke dalam tas Karang dan selembar surat untuk bertemu di stand nomor 23A jam setengah lima sore. Laras sungguh tidak mengetahui kalau surat yang ia berikan hilang, hanya menyisakan selember tiket masuk di dalam tas Karang.

“Ma, ada anak mencari Laras ke sini, tidak?” Tanya Laras kepada seorang wanita setengah baya yang tengah melayani pengunjung untuk melihat-lihat koleksi batik yang ada di stand nya.

“Tidak ada,” jawab mama Laras cepat kemudian kembali konsentrasi ke pengunjunga. Mendengar itu, Laras mengamati tiap pengunjung yang memadati pameran ini sambil duduk di salah satu bangku plastik yang tersedia di stand. Badannya terasa lemas sekali akibat donor darah tadi.

“Sayang, kenapa?” Tanya mama Laras. Laras hanya menggeleng sambil bersandar etalase yang ada di belakang bangku plastik dengan lemas.


***
9 Januari 2010, Minggu
13:00
Raras naik ke dalam mobil sambil tersenyum pada Karang yang sudah menunggu di bangku kemudi. Karang membalas senyum Raras. Baru saja mereka menemui rumah pengrajin mainan wayang kertas di daerah yang lumayan jauh dari apartemen Karang. Butuh 3 jam lebih perjalanan.

Tadi pagi Raras datang membawa oleh-oleh dari Surabaya, dan Karang membalasnya dengan mengajak Raras menemui pengrajin wayang kertas. Hitung-hitung jalan-jalan gratis ke daerah yang lebih sejuk.

“Kita kamu kemana lagi?” Tanya Raras.

“Pulang,” jawab Karang sambil memperhatikan jalanan.

“Ide cemerlang. Apa akan laku di luar negeri?” Tanya Raras lagi.

“Saya akan membuatnya menarik dengan mengemasnya dengan modern. Wayang dari tangkai daun singkong tadi akan diproses dan dikemas sehingga menjadi awet,”

“Oh, bukan wayang kertas?”

“Itu juga, tapi sebenarnya saya lebih fokus untuk memasarkan kerajinan tangan khas Indonesia dari bahan-bahan alami. Orang-orang dulu banyak membuat kerajinan tangan dari bahan-bahan alami yang lain,”

“Apa saja?”

Begitu seterusnya obrolan mereka tak kunjung terhenti. Karang mulai tertarik dengan kerajinan tangan sejak ia melihat salah satu pameran kerajinan tangan dunia ketika SMA. Ia hampir setiap hari datang ke pameran dan menyayangkan beberapa kerajinan tangan Indonesia dari dedaunan kering mengering dan harus selalu diganti dengan yang baru setiap hari.

^^^
9 Januari 2004, Jumat
16:00
Laras kesal sekali jika mengingat kejadian kemarin. Sudah dua kali pertemuan antara ia dan Karang gagal. Seperti tidak ditakdirkan untuk bertemu, alam sepertinya menghalangi pertemuan mereka. Setidaknya itulah pikiran Laras.

Laras sekarang berada di stand tempat mama Laras memamerkan batik koleksi butik mama Laras yang sudah cukup terkenal. Laras berharap Karang akan datang lagi ke pameran dan bisa bertemu.

“Bagaimana Karang di tahun 2010? Apakah aku berpacaran di tahun itu?” Gumam Laras.


***
10 Januari 2004, Sabtu
09:00
Laras lama mengamati Karang dari luar kaca toko cake di sebuah mall dekat rumah Karang. Seperti biasa, Karang selalu berada di dalam sana, meladeni pelanggan. Setiap sabtu Karang libur sekolah. Sekolah Internasional memang memiliki jam sekolah lima hari saja, Senin hingga Jumat. Untuk berinteraksi dengan Karang walau sebagai pelanggan, Laras sering sekali membolos.

Laras masuk ke dalam toko dan menghampiri etalase berisi aneka cake lucu dan beraneka warna yang paling dekat dengan Karang berdiri.

“Selamat datang di Baruna’s Cake. Mau pesan apa?” Karang menghampiri Laras yang pura-pura sibuk mengamati aneka cake di dalam etalase.

“Cheese Sarina dua,” jawab Laras sambil tersenyum.

“Makan disini atau di bungkus?” Tanya Karang penuh hormat.

“Makan disini,” jawab Laras. “Minumnya, saya mau apa saja yang kamu pilih,” lanjut Laras sambil berjalan di salah satu meja terdekat dari tempatnya berdiri tadi. Dari kejauhan, seorang pelayan toko meletakkan dua buah cake pesanan Laras ke atas piring yang cantik dan menhampiri Laras sambil membawa gelas berbentuk lucu berisi minuman berwarna merah muda bertopi es krim putih di atasnya. Sementara Karang duduk di meja lain dan mulai membaca sebuah buku. Karang memang bukan pelayan di sini, dia anak pemilik toko Baruna’s Cake.


***
12 Januari 2004, Senin
09:10
Laras, aku merindukanmu.
Ada banyak cerita, kau tahu?
Aku menemukan Karang, dan ini fotonya di tahun 2010


Laras membaca surat dari dalam loker nomor 7 untuk kesekian kalinya lalu kembali menatap foto laki-laki berusia 24 tahun itu. Laki-laki itu membiarkan rambut tipis di kumis dan janggutnya. Badannya kekar dan lekukan senyumnya masih sama ketika laki-laki itu ketika berumur 17.
Laras tidak sabar ingin segera tahu jawaban Raras apakah di tahun itu Laras dan Karang berpacaran. Sudah beberapa kali Laras ijin ke toilet pada jam pelajaran Bahasa Indoensia ini hanya sekedar mengecek surat balasan dari Raras. Tapi surat belum juga dibalas Raras.

10:05
Aku heran, Karang tak ingat apa pun terhadapmu.
Bagaimana bisa terjadi?

Bukankah dia sekarang tampan?Wah, pasti kamu tidak
konsentrasi di dalam kelas, sambil
meneteskan air liur menatap foto karang
hahaaaa


Laras tersenyum sebentar lalu terdiam. Ia gelisah dengan apa yang baru saja ia baca. Laras tak menyangka dalam waktu tujuh tahun nanti, Laras tak punya keberanian bertemu dengan Karang secara tiba-tiba saja, tanpa membuat janji bertemu di suatu tempat seperti yang selalu Laras buat selama ini.

bersambung ...

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)