bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

P-sau-"oppa (kakak)"

Di langit sana bulan tampak bulat sekali, namun cahayanya redup karena embun embun dan kabut yang melanglang buana ke semua tempat. Hawa dingin terus menusuk masuk menggigit hingga tulang walau sudah kudekap kedua tangan saya sendiri. Bahkan syal tebal usang ini sudah melilit dengan rapat leher dan sebagian wajah saya. Sebentar lagi musim semi tapi dinginnya musim dingin masih sangat terasa malam ini.

Dalam gelap kaki saya melangkah menaiki bukit yang menjulang di belakang rumah. Kerikil-kerikil yang tersebar di jalan setapak menggemericikkan suasana malam. Bagai musik yang tengah mengiri langkah saya menuju pondok kecil tempat dimana ayah saya menyimpan persediaan kayu bakar untuk menghangatkan kamar tamu di motel sederhana peninggalan leluhur.


Kurang dari lima menit pondok gelap gulita terlihat dan makin kupercepat langkah kaki, karena dinginnya malam sudah terasa sakit. Lagi pula sudah ada yang menunggu lama disana. Kakakku tercinta yang sudah 8 tahun bekerja membantu ayah mengurus motel.

Pintu saya buka diikuti bunyi engsel tua yang sedikit memekikkan telinga. Cahaya bulan yang redup masuk ke dalamnya sehingga tidak begitu gelap lagi. Lalu suara gaduh muncul seperti sesuatu benda padat yang sedang beradu dengan benda padat lainnya. Saya berjalan masuk perlahan. Dan suara erangan yang menyanyat muncul dari sudut ruangan.

"kenapa gak makan? Supnya udah dingin sekarang," saya mendekati suara itu. Disana duduk seorang laki-laki lusuh dengan tangan dan kaki terikat pada tumpukan balok-balok besar yang belum terbelah. Ia tampak menggelepak seperti ikan yang kehilangan air. Erangan kembali muncul.

"saya sudah bilang, kak. Kakak harus makan walau mulut ketutup, walau gak bisa pake tangan, walau gak bisa jalan ke meja ini. Hmmm dasar kakak bandel,"

erangan kembali muncul dari sana, tanpa menggelepar seperti tadi. Saya mengambil pisau yang beberapa hari lalu sudah saya letakkan di samping mangkuk sup, agar kakak tercinta dapat menggunakannya untuk memutuskan ikatan di tangan, mulut, atau kakinya.

"bodoh. Kenapa masih belum bisa lepas?" tanya saya sambil mendekatinya dan menegakkan pisau sampai sejajar pundah dan membiarkannya memantulkan sedikit cahaya bulan ke setiap ruangan. Laki-laki itu kembali menggelepar dengan sekuat tenaga.

"seol sayang, berhenti, nak. Jangan begini," ayah tiba-tiba muncul dengan terengah-engah dengan pakaian yang tampak sangat hangat. Asap dingin keluar dari mulutnya. Saya berbalik kembali mendekat meja dan mengambil sebuah apel disana. Saya
mengupasnya pelan-pelan sementara ayah dengan perlahan dan ketakutan mendekat ke arah laki-laki yang sudah 3 hari tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan apa-apa. Rupanya ayah baru tahu kalau pekerjanya bersembunyi di dalam pondok ini.

"jangan lepas, yah. Kakak belum memberi apa yang saya minta," kata saya masih mengupas kulit apel. "ayah!" teriak saya tiba-tiba karena ayah masih saja berusaha membuka ikatan-ikatan yang ada pada laki-laki itu. Ayah tampak tersentak kaget.

"nyawa dibayar dengan nyawa, seharusnya cinta saya dibayar juga dengan cinta. Kenapa dia masih gak mau memberi cintanya setelah saya memberi cinta saya?" tanya saya tanpa berhenti dari kegiatan megupas apel. "kakak bisa jawab?"

"seol, ayah sedih melihat anak ayah begini. Kita pulang ke rumah sama-sama. Kita bertiga,"

"bertiga? Nanti setelah kakak bersedia memberi cintanya pada anak ayah ini,"

lalu ayah diam-diam membuka semua ikatan pada tubuh laki-laki itu dan menyuruhnya diam dan jangan bersuara. Ayah pun bodoh. Dia kira saya tidak tahu kelakuannya. Saya mulai membelah apel menjadi bagian-bagian yang lebih kecil setelah kulitnya habis oleh pisau. Lalu ayah menopang laki-laki itu berjalan ke luar pondok dengan pelan-pelan seperti tadi.

"ayah!" teriak saya sambil memamerkan ujung pisau kepada mereka berdua. "sebentar lagi kakak akan mencintai saya. Tunggu sampai usaha saya berhasil, yah,"

tapi ayah tak mempedulikan permintaan saya. Ia terus berjalan keluar pondok mengikuti kangkah kaki laki-laki yang terseok-seok itu. Karena kesal, saya melempar pisau ke sudut ruangan dimana laki-laki tadi berada. Pisau itu tergeletak bersama kain-kain panjang yang sudah 3 hari terpakai untuk mengikat beberapa bagian tubuh laki-laki tadi. Lalu saya menjerit malam itu seperti serigala di tengah hutan yang biasa terdengar di malam hari.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)