bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

P-sau-"tali layang-layang"

Setelah puas memandang layang-layang yang mengudara tinggi sekali, ayah menengadahkan punggungnya. Ia ingin menggendong saya kembali ke kamar. Memang sudah sore, langit di ujung sana jingga dengan diselimuti sedikit awan hitam. Dengan senang hati saya naik ke punggungnya dan memeluk erat lehernya.

"apa talinya gak bakal lepas kalo kita tinggal?" tanya saya ketika dalam perjalanan meninggalkan atap gedung.

"talinya kuat. Gak akan lepas kalo gak diputus," jawab ayah sambil menuruni anak tangga dengan pelan sebelum sampai ke lift. Saya hanya mengangguk sambil menikmati hangatnya punggung ayah.


"Lila sudah besar ya?" tanya ayah. Saya hanya berucap 'hem' sambil mengamati langkah ayah yang memasuki lift. Nafas ayah tersengal kelelahan, tidak seperti sebelum asuk ke rumah sakit. Setelah lift tertutup, ayah menekan tombol 3. Kami akan kembali ke kamar tempat ayah dirawat.

"ayah bakal sembuh?" tanya saya. Ayah hanya mengangguk dengan sangat yakin. Saya makin erat memeluk leher ayah. Dalam diam, tiba-tiba ayah jatuh terduduk. Dan memberi aba-aba agar saya turun dan jangan khawatir.

"maaf, La," lalu ayah menggeletakkan diri disana, memejamkan mata sambil menahan sakit.

Pintu lift terbuka. Seorang pasien di atas kursi roda dengan sorang perawat laki-laki berdiri di depan pintu lift. Saya hanya menoleh kepada mereka sambil menangis. Lalu dengan cepat perawat tersebut menghampiri ayah setelah berteriak meminta bantuan pada perawat dan dokter yang ada di sekitar. Saya masih menangis di dalam lift.

Di ruang UGD dokter menyebutkan jam kematian ayah. 17:56. Saya menangis dalam pelukan seorang dokter. Saya ingat beberapa jam lalu sebelum layang-layang diterbangkan, ayah menuliskan doa agar saya bahagia di SMP nanti. Seminggu lagi saya akan masuk menjadi anak SMP baru. Dan ayah sangat ingin melihat saya memakain seragam itu. Ayah.

Dua hari kemudian saya memandang layang-layang yang masih mengudara di atap rumah sakit. Lebih dari seminggu ayah, saya dan ibu tinggal disini, untuk perawatan ayah.

"Lila! Kita harus cepat ke gunung," teriak ibu dari ujung tangga. "aiggoo kenapa kita harus kesini?" teriaknya lagi.

Ayah, saya pakai seragam SMP. Cantik, kan? Ayah lihat? Tapi kemarin kita belum beli sepatu baru. Saya masih bersandal.

"Lila!" teriak ibu.

Ayah, talinya kuat sekali. Layang-layang kita masih mengudara dengan gagahnya. Ayah lihat? Mungkin seperti itu tali kita, tidak akan pernah putus. Benar, kan?

"Lila!" ibu sudah ada disamping saya lengkap dengan seragam hitam duka dan kacamata hitam. Ibu mengangkat tangannya yang memegang pisau lalu memotong tali tiba-tiba. Layang-layang terbang menjauh sambil menari-nari bersama angin.

"ibu!" teriak saya kemudian sambil menangis.

"ayo ke gunung. Kita harus menebar abu ayah segera. Mau hujan," kata ibu sambil berbalik dan menarik tangan saya mengikutinya.

"ibu! Saya tahu ibu yang nusuk ayah pake pisau waktu itu. Bukan pencuri seperti polisi bilang!" teriak saya masih sambil menangis.

"Lila?" ibu menghentikan langkahnya lalu mengamati saya lama dengan wajah khawatir.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)