bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

SESAL

Bising sekali. Klakson dan deru mobil-mobil, obrolan orang-orang, tangisan, teriakan dari satu dua perempuan, dan beribu pertanyaan yang terlontar kepada saya. Beberapa menit saya tersadar dari pingsan, akhirnya saya ingat kejadian yang baru saja terjadi. Saya bergegas bangkit untuk duduk dari posisi tidur di pinggir trotoar. Kepala menjadi pusing sekali, sedikit perih di dahi sebelah kiri, dan ketika saya sentuh dengan tangan, terasa sangat perih dan berdarah. Kepala saya terbentur aspal ketika terlempar tadi.

sirine polisi dari kejauhan makin membuat bising malam ini. Setelah mobil polisi berhenti, mereka segera mendekat sebuah mobil yang tergeletak sedikit hancur di bagian depan akibat menabrak belakang truk. Rupanya mobil menghantam truk dari belakang. Melihat itu, saya berlari menghampiri mobil bersama dimana dua polisi ikut membantu beberapa warga untuk mengeluarkan sopir yang tidak sadarkan diri untuk keluar dari mobil. Itu suami saya, Rama. Mata saya dengan cepat melirik jok tengah, mencari Tyo, anak laki-laki saya. Diaman Tyo?


“Tyo?” Panggil saya sambil memutar pelan tubuh saya sendiri untuk melihat sekeliling. Saya kembali memanggil namanya berkali-kali, tapi tak saya temukan. Hingga pada panggilan berikutnya, sirine ambulans membuat suara saya tak bisa saya dengar oleh telinga saya sendiri.

30 menit yang lalu ...

***

Saya menggedor pintu apartemen pada ahirnya ketika pintu tak terbuka setelah menekan bel berkali-kali. Penjaga gedung segera menghampiri pintu beberapa detik kemudian setelah saya meminta bantuannya tadi. Penjaga gedung bergegas membuka pintu apartemen, dan saya dengan cepat masuk ke dalam mencari Tyo yang mungkin sekarang sedang sekarat. Hampir satu jam yang lalu Tyo menelepon saya kalau perutnya sakit sekali dan setelah itu telepon rumah tak diangkat, handphone Rama tak juga diangkat.

Saya segera meminta penjaga gedung untuk mengangkat Tyo keluar ketika saya menemukan Tyo tak sadarkan diri di lantai depan pintu ruang kerja Rama. Ketika penjaga gedung berusaha menggendong Tyo, pintu ruang kerja terbuka. Wajah Rama yang kusut tampak dari dalam sana.

“Tyo! Ada apa ini?” Teriak Rama kemudian. Rama segera menghampiri Tyo dan berlari sambil menggendong Tyo keluar rumah. Saya bergegas mengikutinya di belakang. Ke pintu depan, ke tempat parkir dimana mobil saya sudah stand by disana. Saya dengan cepat membuka pintu tengah agar Tyo bisa dibaringkan disana. Rama dengan cepat mengambil kunci mobil saya dan masuk ke jok kemudi. Mobil melaju setelah saya duduk di kursi samping kemudi.

“Dari tadi kamu ngapain di dalem? Tyo sampe nelpon saya karena perutnya sakit,” tanya saya dengan suara marah.

“Saya... saya gak dengar,” jawab Rama dengan terbata. “Apa dia pingsan dari tadi? Udah berapa lama?” Tanya Rama dengan nada cemas dan penuh penyesalan.

“Kamu tanya sama saya? Yang dirumah sama Tyo siapa?” Bentak saya kemudian karena kesal dengan pertanyaan konyolnya. “Besok Tyo tinggal sama saya,”

“Itu urusan nanti. Sempat, ya, di saat genting begini bilang tentang Tyo harus tinggal sama siapa,”

“Kalau kamu gak asik sama kerjaan kamu, kalo kamu inget sama anak kamu, Tyo gak akan seperti ini, Ram. Saya makin kesal kalau kamu sok lebih memperhatikan Tyo,”

“Hati-hati dengan mulut kamu, Rani! Siapa yang pergi dari rumah? Siapa yang kabur meninggalkan Tyo? Kamu juga jangan sok sayang sama Tyo,”

“Berhenti! Turun dari mobil sekarang. Biar saya sendiri yang bawa Tyo ke rumah sakit. Tyo gak butuh papa seperti kamu,” pinta saya kemudian.

“Apa-apaan ini? Keadaan Tyo genting dan kamu berpikir tentang hal yang gak penting seperti tadi? Sebaiknya kamu yang turun kalau ego kamu masih begitu,”

“Berhenti! Minggir!” Teriak saya akhirnya karena kesal. Dada saya semakin kesal mendengar perkataan Rama. Tapi, Rama sama sekali tak mengindahkan permintaan saya.

“Papa, perut Tyo sakit,” rengekan Tyo tiba-tiba terdengar. Saya dengan cepat menoleh ke arah Tyo yang terbaring sambil meringis kesakitan. Saya melepas sabuk pengaman, dan berusaha melompat ke jok tengah untuk memeluk Tyo, anak kesayangan saya yang baru masuk TK B. “Papa, sakit. Papa,”

“Iya, sayang, sebentar lagi sampai rumah sakit. Ini mama sayang, mama disini,”

“Papa, sakit. Papa,” rintih Tyo pelan.

“Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Tahan, ya, nak. Sebentar lagi,” Rama ikut bersuara menenangkan Tyo.

“Papa,” rintih Tyo lagi.

“Sebulan sama kamu, Tyo makan mi instan terus ya? Saya tahu kamu sudah berhenti kerja dua minggu yang lalu. Kalau kamu tidak mampu mengurus Tyo, seharusnya kamu serahkan dia sama saya,”

“Rani!” Teriak Rama marah.

“Dia juga seharusnya istirahat. Beberapa hari ini kamu ajak dia jalan-jalan, kan? Saya benar kalau kamu memang tidak akan pernah peduli sama Tyo, sama keluarga kamu sendiri,”

“Rani!” teriak Rama lagi lalu tiba-tiba mobil sedang melaju dengan cepat ke arah kami. Dengan sigap Rama mengendalikan kemudi berbelok ke kiri dan mengerem cepat. Tyo jatuh ke bawah. Suara ban berdecit-decit dan saya terlempar keluar dengan tiba-tiba.

***

Setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya dengan cepat dokter mengetahui apa yang terjadi dengan Tyo. Dia terkena usus buntu dan harus segera operasi. Setelah menandatangani beberapa surat, Tyo dibawa ke ruang operasi. Saya berniat menunggu Tyo di depan pintu sampai operasi selesai.

Dua polisi menghampiri saya. Setelah bersalaman basa-basi dan bertanya tentang kejadian yang telah terjadi, salah satu dari mereka memberi kabar bahwa Rama meninggal dunia.

***

Saya tak bisa menahan air mata ketika menatap Tyo yang tertidur di ranjang rumah sakit. Dua minggu ia dirawat disini dan besok ia sudah bisa pulang. Saya pun tidak tahu saya sedang menangis karena apa, atau untuk siapa.

Pikiran saya masih tentang Rama dan kepergiannya yang mendadak. Betapa tidak, begitu sesak dada ini penuh dengan penyesalan. Saya memang tak tahan dengan keacuhannya terhadap keluarga selama ini dan saya memang memutuskan pergi meninggalannya. Tapi, saya bukan pergi untuk tak melihatnya lagi. Saya masih ingin terus melihatnya.

Ketika kecelakaan malam itu, tubuh Rama sama sekali tak cedera luar dan dalam. Ia meninggal di tempat karena sakit yang dideritanya. Kanker pankreas yang ia ketahui tepat dihari dimana saya meninggalkan rumah. Hari dimana Tyo kesakitan malam itu dan menelepon saya, rupanya Rama pingsan di ruang kerja karena sakit itu. Kalau diingat, wajar saja ia tak mendengar rintihan Tyo.

Rama memutuskan keluar dari kantor agar bisa menghabiskan banyak waktu dengan Tyo. Setelah Rama tak bekerja lagi, ia benar-benar menghabiskan banyak waktu bersama Tyo, ke tempat-tempat Tyo inginkan. Piknik, ke taman hiburan, bermain layang-layang, ke pantai.

Lalu, menyadari kenyataan itu, mengingat apa yang saya katakan malam itu tentang Rama, saya benar-benar menyesal. Saya menjadi kasihan terhadap diri saya sendiri. Saya tak ada disamping suami dan anak saya ketika mereka merasakan sakit.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)