bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mati - "mereka memang hanya bisa dipisahkan oleh kematian"

Tangan saya bergetar setelah menerima sebuah papan kertas tipis putih berpadu ungu dan merah muda. Undangan pernikahan dua minggu yang akan datang. Saya masih berharap tak sejauh dan sedalam ini.

Mengapa kisah mereka berdua begitu indah? Apakah Tuhan lebih menyayangi mereka ketimbang saya? Tidakkah cukup saya berdoa bertahun-tahun untuk kebahagiaan saya? Tuhan, tidakkah Kau ijinkan saya bersamanya? Apakah saya harus menerima mereka saja? Aaaaaaa saya berteriak sambil melempar undangan itu kuat-kuat, membentur dinding kantor, terjatuh di lantai. Pita penghiasnya lepas, jatuh tak jauh dari undangan.

"kenapa, La? Kok teriak?" mia muncul dari balik pintu dengan wajah cemas. "La?"

"gak apa-apa," jawab saya sambil duduk lemas di bangku kerja. Mia masuk dan menutup pintu perlahan. Ia menghampiri saya dan memeluk kepala saya. "udah liat undangannya prana, ya?"



"kamu juga pasti udah dapet," kata saya sambil menangis. Saya menyambut pelukan mia. Saya peluk erat pinggangnya dan menjatuhkan kepala saya ke perutnya. Mia dengan lembut mengusap-usap rambut saya. Mia, sahabat saya yang mengerti perasaan saya saat ini.

Saya dan mia seperti ditakdirkan selalu bersama. Sejak SD, kami selalu satu kelas, bahkan kami kuliah di jurusan dan kelas yang sama, arsitektur. Kebetulan sekali, ayah yang sudah punya perusahaan di bidang arsitektur, merekrut kami berdua. Lebih dari dua puluh tahun kami bersama, berbagi kisah dan segala hal yang sanggup kami bagi.

"aku ngerti kenapa kamu gak bisa ngelupain prana. Tapi, kita udah tau kalo kesempatan kamu itu zero persen, La. Please, jangan gini. Kita udah sama-sama tahu beginilah kisah mereka akan berakhir setelah 11 tahun bersama,"

mendengar itu, badan saya menjadi lemas sekali. Pandangan saya perlahan-lahan memudar, kepala saya seperti berputar-putar, terasa pusing. Saya melepas pelukan saya karena tidak bertenaga lagi. Sepertinya saya hendak pingsan. Terdengar mia berteriak minta tolong, lalu semuanya gelap dan akhirnya tak ada suara apa-apa lagi yang tertangkap telinga.

Tak lama kemudian wangi minyak kayu putih yang paling saya benci tercium. Seseorang tengah mengusap-usap dahi saya, rambut saya, dan telapak tangan saya. Perlahan saya buka mata saya, dan tampak wajah prana dengan wajah cemas menatap saya. Ia menopang kepala saya untuk bangun dan memberikan air teh ke mulut saya. Saya meneguknya dengan sangat tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Apakah mia memanggil prana ketika saya pingsan?

Saya menatap ruangan sekeliling saya, saya tergeletak di atas sofa di sebuah butik. Seorang wanita tampak sedang mengipasi kepala saya.

"udah agak baikan sekarang?" tanya prana pada saya. Saya mengangguk pelan. Badan saya memang masih terasa lemas, tapi hati saya saat ini sangat berbunga-bunga. Pranaya, cinta pertama saya, orang yang saya cintai sejak kelas IV SD hingga saya berumur 27 tahun ini. Akhirnya ia mengusap pipi saya dengan lembut dan penuh kasih.

"aku seneng banget sekarang," kata saya sambil menangis, menangis bahagia.

"anggun, kamu kenapa?" tanya prana cemas. Saya langsung menatap mata prana sebelum ia mengatupkan bibirnya. Anggun? Ia memanggil saya anggun? Anggun, perempuan yang akan ia nikahi dua minggu lagi?

"aku Lila, pran," kata saya cepat dengan wajah marah. Saya bangkit dari tidur dan mendorong tubuh prana dengan sekuat tenaga. Ia hanya bergeser sedikit dari saya, lalu menatap saya dengan wajah bingung.

"Anggun?" prana berusaha menggenggam tangan saya lagi, tapi saya menepisnya. Saya mencari cermin di sekitar ruangan ini, dan berlari ke arahnya. Saya melihat wajah anggun di balik cermin. Wajah teduhnya tampak sangat gelisah di cermin. Senyum manis yang selalu terkembang untuk saya tidak ia munculkan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi.

"kenapa kita disini?" tanya saya setelah menoleh prana yang kebingungan di sofa.

"kita lagi ngambil gaun pengantin," jawab prana. "Kamu beneran gak apa-apa?"

"kamu beneran mau nikah?" tanya saya.

"anggun. Kita ke rumah sakit sekarang. Kamu terlalu lelah hari ini. Lelah ngurusin pernikahan kita," kata prana sambil bangkit dari sofa dan mendekat. Ia perlahan mendorong tubuh saya keluar dari ruangan dan membimbinga saya menuju pintu keluar. "mbak, tolong gaunnya taruh di mobil, ya,"

saya memperhatikan tangan saya sendiri. Oh, bukan, tangan anggun. Berjalan perlahan menuju mobil prana, dengan lebut kemudian prana mendorong saya untuk duduk di bangku samping kemudi. Setelah itu ia bergegas masuk ke bangku depan kemudi. Tak lama kemudian mobil melaju meninggalkan halaman butik.

Jika saya anggun, berarti saya akan menikah dengannya. Seharusnya saya senang mendapati keadaan ini. Inilah impian saya, menikah dengan prana. Bahkan hari ini saya benar-benar merasakan hangat jemarinya ketika menyentuh pipi saya. Ini pertama kalinya saya merasakan sentuhan jarinya. Tapi, ini tidak benar. Tetap saja ini adalah tubuh anggun, prana tetap akan menikahi anggun.

"aku harus apa sekarang?"tanya saya tiba-tiba pada prana.

"kita ke rumah sakit sekarang, kamu harus diperiksa dokter secepetnya,"jawab prana.

"aku gak mau kamu nikah sama anggun," kata saya kemudian, lalu dengan cepat membuka pintu mobil dan menjatuhkan diri. Tuhan, hukum saya setelah ini, saya ingin anggun mati saja. Belum sempat saya merasakan sakit, sebuah ban dengan cepat mendekat ke kepala saya, dan dengan cepat pula saya terbangun.

"Lila," suara ayah saya terdengar tiba-tiba. Ayah sudah ada di hadapan saya, mengusap-usap rambut saya. Mia tampak memberikan segelas air putih kepada saya. Saya meneguknya dua kali, lalu mendudukkan diri di sofa tamu yang ada di ruangan kantor saya.

Saya tersenyum kemudian. Saya merasa sangat senang. Tunggu. Apakah tadi saya bermimpi? Tapi tampak sangat nyata. Saya menoleh ke arah mia yang berdiri di samping ayah.

"apa anggun mati?" tanya saya pada mia. Mia tampak terkejut mendengarnya. Ayah dan mia saling berpandangan lalu kembali menatap saya dengan cemas.

"sayang, kamu gak apa-apa?" tanya ayah pada saya sambil mengusap dahi saya sekali.

"mia, hubungi prana sekarang. Apa anggun mati?" perintah saya pada mia. Dengan wajah bingung, mia menekan beberapa tombol dan melakukan panggilan dengan ponselnya lalu menatap saya dengan wajah cemas.

"gue mia, pran. Gimana kabar anggun?" tanya mia tiba-tiba setelah panggilan diangkat.

"gue gak ngerti apa yang udah terjadi. Anggun mati, miaaa,"

mendengar jawaban prana, mia langsung menutup panggilannya. Mia menatap saya lagi. "anggun mati," jawab mia gugup. Ayah dan mia kembali berpandangan, lalu kembali menatap saya. Entah mengapa saya merasa bahagia. Sepertinya saya tengah tersenyum lebar saat ini.

Mereka memang hanya bisa dipisahkan oleh kematian. Pada akhirnya Tuhan menjawab doa saya.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)