bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 09 Juli 2011

_ex_

Kutatap wajahku sendiri di dalam cermin toilet sembari berpura-pura mencuci telapak tangan yang tidak kotor, sementara teriakan air mengalir dari keran wastafel sama sekali tidak bisa membuyarkan pikiranku sendiri. Butir-butir air yang sangat kecil menyebar ke segala arah, termasuk wajahku, sehingga beberapa detik kemudian aku tersadar dan bergegas mengusapnya dengan tisu yang tersedia di toilet. Aku merasa sudah lebih siap sekarang untuk keluar dan duduk kembali ke meja kantin.

Aku duduk dibangku tepat di depan Denis yang tengah sibuk mengunyah makanannya. Seperti biasa, ia memasukkan makanan seolah tidak ada sisa ruang longgar di dalam mulutnya. Penuh, membuat pipinya tampak makin bulat. Aku tertawa kecil melihatnya.

“kenapa?” tanya Denis.


“Makan pelan-pelan, aku gak bakal minta makanan kamu,” jawabku sambil memasukkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutku.

“Kamu gak tertarik lagi sama makanan yang aku makan?”

“Gak,” jawabku singkat.

“Dulu kamu paling doyan. Dulu aku suka kamu yang begitu,” katanya lagi tanpa melirikku sedikitpun. Matanya asik menyapa nasi lengkap yang ada di piringnya seolah tengah berdiskusi makanan mana yang akan mendapat giliran dimasukkan ke dalam mulutnya.

“Dulu makanan yang kamu makan selalu keliatan lebih enak,” kataku.

“Sekarang gak lagi?” Tanyanya sambil menatapku sebentar.

“gak,” jawabku.

“Kenapa? Ini sambelnya super enak loh,” Denis mencoba membuatku tergiur dengan memakan makanan itu menggunakan gaya host acara icip-icip kuliner di televisi. Aku kembali tertawa kecil melihat tingkahnya. “Wooh, udah lama gak liat ketawanya kamu,” kata Denis kemudian membuat aku mengecilkan bibirku sektika. Sepertinya bibirku kini tengah tersenyum kecut.

“Oh, kamu belum bilang ngajak aku makan untuk apa,” kataku mengalihkan pembicaraan.

“Tapi semalem aku gak bilang mau traktir, kan? Kamu yang traktir aku, ya?”

“Yang ngajak makan bareng siapa?” Tanyaku.

“Pelit, ih. Aku udah bela-belain nyamperin kamu ke kantor, aku nemenin kamu makan disini,”

“Iya aku yang traktir. Besok lagi gak lagi ya,” kataku sambil memakan bubur pura-pura dengan kesal. Denis tertawa kecil sambil menatapku agak lama.

“besok aku yang traktir,” katanya. “Tapi syaratnya kamu yang nyamperin aku ke kantor,ya,”

“Pelit,” ejekku cepat sedetik kemudian. Denis tertawa riang sekali siang itu.

“Ini pertama kali kita bisa kaya gini lagi setelah dua tahun,” katanya. “terus terang nih, ya, aku seneng,”

“Aku juga,” jawabku sambil tersenyum.

“Oh, kabarnya kamu punya pacar, ya,” celetuk Denis dengan tiba-tiba. “Orang kantor? Yang mana orangnya?”

“Hobi kamu yang tukang ngarang itu masih, ya,” jawabku. “Gak ada. Kamu sendiri? Kabarnya malah mau nikah,”

“Hm, iya. Aku kesini mau kasih undangan. Minggu depan, Ray,” jawab Denis. Aku langsung diam, dan raut wajah tidak mau menuruti perintah otak untuk memberikan senyum, atau setidaknya pura-pura tersenyum. Tenagaku pun seperti habis seketika tak sanggup lagi mengangkat sendok untuk menyuapi diriku sendiri.

“Terkesima apa cemburu?” Tanya Denis ketika melihat tingkahku.

“Pede,” jawabku. “Mana undangannya?”

“Kamu nyesel kan minta cerai sama aku?” Denis meledekku sambil cekikikan.

“Gak. Aku udah dapet harta gono gini. Itu yang aku cari,” jawabku.

“Sejak kapan kamu mata duitan?” Tanya Denis. Aku hanya menjawab dengan tawa. Mungkin saja terlihat sekali tengah pura-pura tertawa. Pipiku sekarang terasa pegal. Mungkin saja aku terlalu besar membuka mulut untuk sekedar tertawa pura-pura ini. “Wooh, mata kamu bener-bener hijau sekarang,” ejek Denis kemudian padaku.

“Apa pendapat kamu kalo kita rujuk?” tanyaku dan dengan cepat kulihat reaksi Denis yang terbatuk-batuk tidak karuan. Lama ia membuat kerongkongannya membaik, membuatku cemas saja.

“Aku mau nikah, jangan main-main, ah,”

“Emang Cuma main-main,” kataku cepat. “Semoga bahagia,”

“Ucapin itu nanti aja di pernikahan,”

“Aku gak bisa dateng,” jawabku.

“Gak kuat ngeliatnya?” Tanyanya sambil tertawa. “Kamu bener-bener minta rujuk, nih? baru sadar daya tarikku?”

“Pede,” jawabku. “Mana undangannya. Sebentar lagi rapat, jadi mau nyiapin bahan rapat,” kataku sambil menyodorkan tangan kosong mendekat ke arahnya.

“oh,” gumam Denis sambil menyerahkan undangan dari dalam tas kantornya. Aku meraihnya lalu bangkit dari bangku hendak meninggalkan kantin. “Raya, kamu masih cantik di umur kamu yang 36 ini. Pasti mudah cari pacar,” katanya sebelum akhirnya aku benar-benar meninggalkan kantin. Aku tertawa kecil mendengarnya sambil menatap kartu undangan berwarna ungu muda yang ada di tanganku.

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)