bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 07 Juni 2010

catatan harian lily 4

Kisah saya kali ini masih tentang hari ini, tapi ketika sore. Berawal dari perjalanan saya menuju halte dekat kampus, hendak menumpang angkot biru muda (kalau kata salah seorang kernet, numpang saja mbak, naiknya gratis. Tapi turunnya bayar).


Jujur saja, saya tidak suka jalan utama menuju halte ini, karena di halte sudah pasti banyak angkot-angkot yang menunggu penumpang mahasiswa-mahasiswa kesayangan mereka. Dengan mengerahkan para kernet masing-masing, bersusah payah dan bersaing menggaet para mahasiswa untuk menjadi penumpang angkot masing-masing. Alhasil, setiap ada kepala mahasiswa, para kernet berkerumun seperti para fans minta tanda tangan. Jadi, sebenarnya saya lebih suka lewat jalan belakang, jalan kecil yang hanya bisa dilewati pejalan kaki, yang tembus tidak tepat di halte, tapi, beberapa meter lebih di depan dari halte. Biasanya saya berhenti tepat di bawah pohon, menunggu angkot datang menawari bangku kosongnya (ini lebih baik ketimbang di halte, ngetem, sambil menunggu semua bangku kosong terisi semua).


Kisah ini terjadi karena jalan belakang itu terkadang ditutup setelah jam 4 sore. Sekarang sudah jam 4 sore. Daripada saya ‘kecelik’ dalam bahasa jawanya (dalam bahasa indonesia apa, ya?) dan harus kembali berbalik arah dengan berjalan sejauh 300 meter, saya mencari aman, dengan berjalan melalui jalan utama, dengan resiko menjadi artis kampung sejenak.


“Karang, Mbak?”

“Basa, Mbak?”

“Karang, mbak?”

“Basa basa basa?”

“angkot dengan tulisan ‘keren gila’ itu mbak, naik itu saja mbak,”

“angkot yang tulisannya ‘gokil abis’ full musik, mbak,”

“kemana, mbak? Karang?”

“basa, ya, mbak?”


“basa, om,” jawab saya.


Kernet-kernet jurusan raja basa berusaha memikat kaki saya untuk menuju angkot mereka masing-masing. Karena sudah kebiasaan saya dengan prinsip ‘biarlah kaki yang menentukan kemana saya akan pergi’, saya terhenti di sebuah angkot jurusan raja basa lalu menaikinya. Sang kernet empunya angkot tersenyum, kernet pesaingnya melengus, mengumpat rekan pemenangnya, lalu semuanya kembali mencari calon penumpang lain jurusan raja basa.


Sempat agak kecewa, karena kaki ini memilih angkot yang hanya diduduki 4 pantat termasuk sang sopir muda yang duduk di depan setir angkot. “pasti lama”, batin saya sambil berkipas-kipas ria dengan kertas fotokopian kimia industri yang baru dibagikan.


“sebentar, ya, mbak, nunggu satu penumpang lagi,” rayu sang sopir sambil memperhatikan kernetnya yang tengah sibuk mencari artis baru. Saya, dan dua penumpang lain mengangguk.


Oh, ya, baru saya sadari, ternyata sang kernet masih terlalu kecil, menurut penerawangan saya, usianya baru 8 tahun. Hah? Yah, inilah kota. Banyak anak kecil yang terpaksa bekerja seadanya. Saya memperhatikan tiap gerak-gerik kernet kecil itu, menggila, berlari kesana kemari, teriak –teriak seperti pedagang obat yang biasanya berjualan di trotoar dekat pusat perbelanjaan, menawarkan berbagai service dalam angkotnya.


“Cil ! Kancil ! sudah ! kita jalan sekarang saja ! Waktu kita Cuma sedikit !” teriak sang sopir kepada kernetnya. Tampak si kernet kecil tak mempedulikan, walau saya tahu, dia cukup mendengar teriakan sopirnya. Terus sibuk bersaing dengan kernet-kernet lain.


“Kancil !” teriak sopir sekali lagi.


“Sabar dulu, lah. Masih banyak itu mahasiswanya, mundur dulu tuh angkot deketin halte, nanti nggak ada yang mau naik, tol**l !” marah kancil akhirnya. Ups, maksud saya sang kernet. Saya jadi tahu, kenapa sang sopir memanggilnya kancil, dia terlalu aktif.


Sang sopir nyengir sedikit, sambil berkata dengan pelan, “baru kali ini ada kernet marah-marah dan ngatur sopirnya,” mendengar keluhan sang sopir, saya tersenyum kecil. Iya, oom sopir, saya juga baru lihat kernet yang begini, batin saya sambil melirik sang wajah sang sopir dari kaca kecil di depan. Sang sopir yang masih muda, dengan kulit putih merah khas sumatra.


“kancil! Percuma! Nggak bakal kelar kalo sampe abis mahasiswanya. Nanti lagi ya pasti muncul lagi dari pintu gerbang itu!” teriak sopir lagi.


“cerewet! Sabar dulu lah!” marah kernet itu lagi.


“sabar, ya, mbak, kalo lama, marah sama kernetnya, jangan sama saya,” kata sang sopir kepada saya dan dua penumpang lain. Saya tertawa kemudian, diikuti tawa dua penumpang lain. Dasar kancil!


“jam berapa, mbak?” tanya sopir kepada saya.


“oh, jam 4, om,” jawab saya.


“nah lo, sebentar lagi bukan jatah saya yang bawa. Kalo begini, bagaimana saya bisa bayar kuliah saya?” keluhnya kemudian, sambil keluar dari angkot, hendak mengejar sang kernet. Sudah gerah rupanya dengan sikap sang kernet yang giatnya keterlaluan.


Sebentar. Kuliah? Sang sopir anak kuliahan? Hebat, euy! Semangat, om ... memang begitulah seharusnya kita, tidak meminta jatah bulanan orang tua. Saya malu, om... saya juga salut sama om sopir.


Tak lama kemudian, sang sopir berkejar-kejaran dengan sang kernet sambil ikut menawari angkotnya kepada beberapa mahasiswa. ‘jiah, inilah orang hebat, sambil menyelam minum air’. Entah mengapa, saya menikmati penungguan panjang saya, tidak seperti biasanya. Kalau lama, saya turun, mencari angkot lain. Kali ini, saya ingin sekali mengamati mereka, sopir dan kernetnya, hiburan di sore hari, lebih baik ketimbang menonton sinetron di rumah. Mereka berdua menarik.


Tak lama, sang sopir mendekati angkot, tapi, belum naik, masih mengamati kernetnya. “kancil ini mau bayar spp, ya? Cari penumpangnya udah kaya mau ngasih makan lima anak,” gumamnya pelan, tapi, cukup untuk saya mendengarnya, sehingga membuat saya kembali tersenyum.


“kancil!” teriak sopir lagi. Lagi-lagi, kernet mengacuhkannya.


Kemudian sang kernet mendatangi angkot, dengan membawa 4 mahasiswa perempuan yang siap menempelkan pantatnya ke bangku angkot.


“udah, yuk,” ajak sopir.


“satu lagi,” jawab kernet kembali mencari mangsa.


“masya alloh,” keluh sopir. Kemudian muncul satu penumpang lagi, dan naik ke angkot. “kancil, udah satu, neh!” teriak sopir.


“itu ada 3 lagi, sabar,” jawab kernet sambil menghampiri mangsanya yang terlihat di kejauhan. Tapi, sepertinya sang mangsa tidak tertarik dengan angkotnya, atau dengan arah tujuan angkot. Yang jelas, ketiga mahasiswa itu naik ke angkot lain.


“nggak mau, kan, ayo!” ajak sopir.


“sabar!” marah kernet kemudian.


“Aih, sampe maghrib juga bakal ada orang yang keluar dari gerbang. Jangan-jangan penjual itu dia kira calon penumpang. Payah nih kancil,” gerutu sopir sambil naik ke bangku setirnya, lalu menancapkan gas perlahan. Mata sang sopir masih memperhatikan tingkah kernet dari kaca spion. Tak lama, sang kernet berlari menghampiri angkot. “nah, kenapa nggak dari tadi,” kata sopir.


“nggak sabar, banget, lo ini!” marah kernet sambil duduk di dekat pintu angkot, sementara angkot terus berjalan, mengijinkan angin-angin masuk melalui jendela dan pintu angkot.


“lo mau bayar spp, cil? Semangat banget cari penumpangnya,” tanya sopir ketika dalam perjalanan menuju raja basa.


“nggak. Angkot lo bisa cepet dikit, nggak? Jalan kaya semut, kita harus dapet uang banyak, coy,” marah kernet lagi. Lalu sang sopir dengan sigap menancapkan gasnya lagi, membawa kami melaju kencang menuju raja basa.


“Pramuka, ya,” pintaku pada sang sopir, lalu ia membelokkan angkotnya ke kiri jalan.


Hanya kisah saya sore ini.

Selasa, 23 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)