bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Senin, 07 Juni 2010

catatan harian lily 5

Ketika terbangun dari tidurnya, ia tersadar bahwa di luar hujan, deras sekali. Segera ia menutup jendela setelah melihat tas yang sedari tadi ia pangku, agak basah terkena sedikit air hujan yang masuk ‘merembes’ dari dinding bus yang sudah tua itu. oh, ya ampun. Waktu ashar sudah hampir habis, jadi harus segera sampai rumah, pikirnya setelah melihat jam di layar Hp.


Segera ia membuka layar write message, dan mengetik sms.


papa di rumah, gak? Ada motor, gak?’


Lalu ia kirim ke nomor yang tersimpan di paling atas memory number.


Lama ia menunggu jawaban, tapi sudah hamper 10 menit tidak mendapat balasan. Akhirnya ia memutuskan untuk menelpon saja. Sudah telepon ke 13, baru diangkat.


“kamu dimana?” Tanya suara di seberang.


“di gading,” jawabnya.


“kalo udah mau sampe, sms lagi,” kata suara di seberang lagi.


Karena sadar ingin hemat pulsa, ia langsung mematikan telepon, dan kembali sms.


iaaa…


Tak beberapa lama, 15 menit lagi ia hampir sampai. Tapi hujan masih deras. Dia belum sholat ashar. Waktu ashar benar-benar sudah hampir habis. Tapi, Kasihan kalau ayahnya harus menjemput dia di tengah hujan begini. Ia teringat beberapa waktu lalu, ketika ayahnya menjemputnya kala hujan deras. Sang ayah hanya menggunakan jaket, sedangkan ia dipaksa ayahnya mengenakan jas hujan, duduk dibonceng di belakang. Oh, taak mau seperti itu lagi. Kasihan ayahku, pikirnya kemudian.


Lalu tiba-tiba tercetus ide dalam benaknya. Untuk minta jemput di jalur becek saja, pakai payung. Yups! Untuk sampai di depan pintu rumah dari tempat pemberhentian bus, sebenarnya ada dua jalur. Sebut saja jalur becek dan jalur panjang. Keduanya ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jalur panjang, tentu saja jauh dari tempat pemberhentian bus (biasanya ayahnya menjemputnya dengan motor), tapi, terang, aman, dan tidak becek. Jalur becek, lumayan lebih dekat (karena itu jalan memotong, jadi cukup dengan berjalan kaki), becek, tapi lumayan gelap untuk dilalui pada petang hari. Apalagi ketika hujan deras seperti ini, sangat becek dan membuat sepatu bisa basah kuyub. Aku bisa lepas sepatu nanti disana. Ah, seandainya saya berniat membeli payung, pasti tidak perlu begini, pikirnya lagi.


Ia kembali mengirim sms.


nanti di jemput pake payung di depan aja gimana?


Kali ini ia berharap ada jawaban. Karena ini penentuan, ia akan berhenti di jalur panjang atau jalur becek. Tapi, seperti tadi, tak ada jawaban. 8 menit lagi sampai. Dengan cemas, ia menelepon lagi. Seperti tadi pula, tak juga diangkat. Makin cemaslah ia. Jangan-jangan seperti waktu itu, ayahnya sudah berangkat dan lupa bawa hape-nya. Atau ayahnya sudah menunggu di ujung jalur panjang? Atau ayahnya sudah menunggu menggunakan payung di ujung jalur pendek? Saya yang menulis ini pun tidak tahu. Jadi, kita lihat saja kelanjutannya.


Telepon ke 19, masih tidak diangkat. Ke 20, baru terangkat.


“dimana? Papa udah berangkat bawa payung. Papa lupa bawa hape” Kata suara diseberang. Rupanya ibunya yang mengangkat.


“oh, berarti di jalur becek, ya? Berarti turunnya di jalur becek, ya sudah,”


Lalu telepon ditutup, dan beberapa detik kemudian, bus berhenti di depan jalur becek.


Sepi. Masih hujan deras. Ia berlari berteduh di bawah pohon, mencari-cari sosok ayah yang kabarnya menunggunya menggunakan payung. Mungkin belum sampai, pikirnya. Lama menunggu, tapi tak kunjung muncul. Apa ayahku menunggu di jalur panjang? Ya ampun, kasihan ayahku…


Lalu ia kembali menelepon. Telepon ketiga, baru diangkat.


“kamu dimana?” Tanya suara di seberang. Itu suara ayahnya.


“di jalur pendek, katanya disini,” jawabnya dengan agak kesal. Kesal karena kasihan pada ayahnya yang pasti sudah kembali dari ujung jalur becek. Mungkin tadi ayahnya lama menunggu, lalu ayahnya berpikir jangan-jangan anaknya minta jemput di jalur panjang, bukan jalur becek. Mungkin sang ayah berpikir ia salah baca sms, lalu kembali lagi ke rumah. Mungkin saja.


Tak lama, sang ayah muncul membawa dua payung. Si anak bergegas berlari menghampiri ayahnya dan meraih payung. Lalu keduanya berjalan berbalik berjalan menuju rumah, berlindung dengan payung yang berbeda.


Rupanya si anak masih kesal pada ayahnya, ia menampakkan wajah cemberut. Sebenarnya kesal karena kasihan dengan ayahnya yang bolak-balik. Tapi, kalau lebih cermat baca sms, tidak seperti ini.


“papa baca sms-nya gimana, sih?’ gerutunya. Sang ayah tidak menyahut. “tadi lagi tidur, ya?”


“sepatunya basah. Copot saja,” kata sang ayah kemudian, tidak menjawab pertanyaan anaknya.


Karena masih kesal, sang anak tak menghiraukannya. Sebenarnya itu niat sang anak di awal, tapi, entah setan apa yang merasukinya, ia biarkan saja sepatunya masuk ke kubangan air hujan, bahkan beberapa kali ia sengaja. Si anak meninggalkan ayahnya di belakang, ia berjalan cepat.


Entah setan mana lagi yang merasuki si anak, setibanya di depan teras depan, ia malempar payung sekenanya, membuka sepatu dan kaos kaki yang basah dan kotor seenaknya, berbegas mengambil air wudhu, lalu sholat ashar.


Setelah itu, si anak mandi dan mengganti pakaiannya, lalu masuk kamar, dan selanjutnya tidak keluar-keluar kamar sampai pagi (hanya untuk sholat maghrib dan sholat isya)


Hari-H; Jumat, 28 maret 2010, 17:15


***********


Dasar anak kecil! Ia tahu tingkahnya salah, tingkahnya sama sekali tidak benar, dan ia ingin berubah. Sungguh ia ingin merubah tingkah kekanak-kanakannya itu (wanita berjiwa bocah). Ia terlalu dimanja dan sebenarnya ia tahu, sudah cukup tua untuknya bersikap layaknya anak SD seperti itu. ngambekan ! lengusan ! kata-kata itu yang pernah diucapkan ibunya beberapa waktu lalu. Bahkan menurut ibunya, ia paling berbeda sikapnya di antara saudara-saudara lainnya. Sikapnya buruk sekali dalam hal ini.


Pesan untuk si anak dari penulis :

Berpikirlah, berubahlah, sayangi ayahmu seperti beliau menyayangimu. Tidakkah kau rasakan kasihnya terhadapmu selama ini? Sungguh, apa yang ayahmu berikan selama ini tidak seperti ayah-ayah lain, beliau hanya ingin kau lebih baik, sehingga memanjakanmu hingga kau terlena jauh. Bahkan perlakuannya lebih dari kepantasan usiamu. Kau sudah terlalu dewasa, bukan? Tidakkah seharusnya kau mandiri dan bersikap lebih dewasa? Bukankah kau sudah mencerna apa-apa yang beliau lakukan dan berikan padamu selama ini?


Si anak menjawab :

Papa, maaf. Saya lagi berusaha mandiri dan dewasa. Maaf karena kata ini sulit sekali terucap ketika ada di hadapanmu. Sungguh saya benar-benar ingin berubah, karena saya sudah terlalu menyusahkanmu dengan kebocahan saya. Sore itu, sebenarnya sebagian saya kesal pada saya karena sudah membuat papa bolak-balik, tapi, jiwa bocah saya lagi-lagi berkelit. Seharunya sore itu papa cermati sms saya dulu, agar tidak miss-komunikasi seperti ini. Tapi, sisi lain dari saya sebenarnya dalam kesadaran. Menjemput saya seharusnya bukan urusan dan kewajiban papa. Papa terlalu mulia hingga memperlakukan dan memanjakan saya seperti selama ini. Sungguh saya tahu, sore itu, dan ketika hujan-hujan lain, papa hanya ingin saya tidak kehujanan.


Sabtu, 27 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)