bergeraklah...!!!!

Sesungguhnya alam mengajarkan bahwa kita tak akan pernah bisa berhenti. Meski kita berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak kita mengelilingi matahari.


Air yang tak bergerak lebih cepat usuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih berdebu. Hanya perkakas yang tidak digunakan yang lebih gampang berkarat.


Alam telah mengajarkan ini. jangan berhenti berkarya, atau kita segera menjadi tua dan tak berguna.


.

.

.

Sabtu, 12 Juni 2010

catatan harian lily

Kisah katak
02 Januari 2010 jam 18:25

Karena heran, kuamati terus katak itu. Dari kepala hingga kaki, kembali ke kepala, lalu perlahan turun lagi ke kakinya, lalu ke kepala lagi. Ia hijau, tak berleher, mulutnya lebar, matanya dua, sama dengan katak-katak lain. Lalu dimana perbedaannya?

Karena masih penasaran, aku memutarinya, 360 o tepat. Ia hijau, tetap tak berleher, mulutnya lebar, masih bermata dua, sama dengan katak-katak lain. Lalu dimana perbedaannya?

“Apa yang kau lihat?” Tanya katak. Rupanya si katak sudah mulai risih dengan sikapku.

“Apa bedamu dengan katak lain?” tanyaku.



“Tidak ada,” jawabnya sembari melompat ke pinggir kolam.

“Tidak ada?” tanyaku.

“Tidak ada,” tegasnya sambil menatap air kolam dengan wajah yang sangat sedih.

Aha! Aku menemukan perbedaan katak ini dengan katak lainnya. Wajahnya. Hanya dia yang berwajah sedih. Katak lain bahkan begitu bahagia.

Kemudian aku merangkak mendekatinya dan menunduk untuk menjajari tubuhnya yang super mini. Ah, aku tak bisa. Katak terlalu kecil untuk ukuran tubuhku. Jadi kuputuskan untuk duduk bersila saja tepat disampingnya sambil ikut menatap air kolam.

“Kenapa sedih?” tanyakku.

“Gelap,” jawabnya.

“Ya. Ini malam,” kataku.

“Malam biasanya tak segelap ini,” rintihnya.

“Oh, ya?” aku mencoba merespon sebisaku. Jujur saja aku bingung dengan sikap si katak.

“Kau tak lihat langit mendung?” Tanya katak yang masih terus menatap air kolam yang hitam dan gelap. Aku mengangguk pelan tanda mengerti.

“Sebenarnya apa yang kau lihat?” tanyaku lagi.

“Air kolam,” jawabnya.

“Ada apa di air kolam?” tanyaku.

“Kenapa kau banyak bertanya?” si katak menoleh kearah lututku yang sejajar dengan matanya.

“Aku…aku…penasaran. Banyak katak bilang, kau katak yang beda dari mereka. Sebenarnya apa bedamu dengan katak lain?”

“Tidak ada,” jawabnya.

“Tidak ada?” tanyaku.

“Tentu saja tidak ada. Aku katak. Mereka juga katak,” jawabnya dengan ketus. Ia sudah mulai kesal denganku.

“Kau sedih, mereka bahagia. Kenapa?”

“Karena langit mendung,” jawabnya kembali menatap air kolam. “Kau tahu, tiap malam aku ke pinggir kolam ini, permukaannya adalah layar bagiku. Kuibaratkan ‘LCD’ bila kuambil contoh dari dunia modernmu. Aku makhluk tak berleher yang kebetulan pengagum bintang. Melalui air kolam ini aku bisa memandang bintang. Bintang yang terlalu tinggi tak bisa kulihat dengan mendongakkan kepalaku. Air kolam membantuku memantulkan gambaran bintang yang ada di langit,” jawabnya panjang lebar.

“Aku tahu selanjutnya,” kataku. “Awan mendung membuat bintang tak terlihat, sehingga kau bersedih hati,” lanjutku dengan penuh keyakinan.

“Salah,” bantah katak.

“Hah?” aku terperanjat.

“Kau lihat langit di bagian lain? Tetap ada bintang. Lihat air kolam di sebelah kanan misalnya, tetap terpantul bintang. Awan mendung itu hanya ada di atas kepala kita,”

“Lalu?” tanyaku dengan penuh antusias.

“Awan mendung membawa hujan. Airnya akan jatuh,” jawabnya dengan penuh kesedihan, karena air hujan ternyata sudah mulai turun. Awalnya hanya rintikan kecil, lalu membesar dan menjadi deras. Dengan cepat dendang kebahagiaan puluhan katak terdengar dari tiap sudut sekitar kolam. Kecuali katak yang ada di sampingku. Ia menangis terisak.

“Hei, kau menangis!” kataku dengan suara kencang agar mengalahkan suara derasnya hujan dan nyanyian puluhan katak lain.

“Ya. Hujan merusak layarku. gelombang air kolam membuat aku tak bisa melihat bintang,”

0 komentar:

Posting Komentar

silakan komentar disini... :)